Domine Eduard Osok, bandara kecil di tengah kota Sorong pun semakin tampak jelas, Sriwijaya mulai melambatkan lajunya untuk mendapatkan sebuah pendaratan yang mulus. Ya, selamat datang di Propinsi Papua Barat, salah satu dari beberapa propinsi baru di Indonesia. Papua Barat adalah propinsi pemekaran dari Papua dengan Ibu kota Propinsinya di Manokwari. Sorong sendiri adalah salah satu kota besar dan 'maju' yang dimiliki Papua Barat (bahkan ada wacana bahwa Sorong akan berdiri menjadi Propinsi baru, Papua Barat Daya, namun hingga tulisan ini hadir, Sorong masih menjadi bagian dari Propinsi Papua Barat).
Sorong juga termasuk kota yang sangat multi kultural, banyak pendatang yang mencari rezeki di kota ini. Masjid dan gereja pun banyak yang berdiri berdampingan. Penduduk Sorong pun cukup ramah, rajin menyapa dan rajin tersenyum, bahkan kepada orang yang belum dikenalnya. Namun adat tetap kental di sini, babi dan anjing bebas berkeliaran, bila ada yang melukai hewan-hewan tersebut (bukan pemilik) maka ia harus ganti rugi jutaan rupiah. Ihhh, ngeri banget...
Secara geografis, Sorong berada di pucuk pulau Papua, berarti dia di bagian kepala burung. Posisinya yang berada di ujung sangatlah menguntungkan. Secara otomatis Sorong diitari oleh lautan dan pantai-pantai, juga berdekatan dengan pulau-pulau kecil yang indah, Raja Ampat (yang terkenal hingga mancanegara), Pulau Buaya, dsb. Sepertinya perlu 'diagendakan' untuk mengunjungi salah satu pulau di sekitar Sorong tersebut. Misalnya ke Raja Ampat yang dibutuhkan waktu 2 jam perjalanan laut untuk sampai lokasi, start dari Pelabuhan Rakyat menggunakan kapal ferry.
Tenang saja, saya masih bisa meretas rindu dengan sahabat lama yang harus ditugaskan di Sorong dan masih bisa mengunjungi pantai-pantai indah di sini. Salah satunya adalah Pantai Saoka di Tempat Garam. Suasana pantai sangat tenang dan begitu tradisional. Menikmati kelapa muda yang dijual warga, Rp.10.000 untuk satu buah kelapa muda besar yang baru dipetik semalam, segarnya begitu terasa alami.
Hari sabtu, sekaligus hari dimana saya dan rombongan harus kembali ke Jakarta. Kami putuskan menyewa kapal tradisional warga, kapal tanpa atap, tanpa pelampung, demi agar bisa melihat seperti apa pulau raja ampat itu. Duduk pun harus diatur keseimbangannya, satu orang duduk di tengah atau jika dua orang harus di dua sisi pinggir kapal, sangat tradisional.
Air semakin pasang saat posisi sudah di tengah lautan, air asin pun membasahi seluruh badan, lengketnya...
Di tengah lautan itu pula, kapal harus mogok lantaran kehabisan bahan bakar. Di tengah lautan, sekali lagi, tanpa atap kapal, tanpa pelampung, tak ada kapal yang melintas dan tak ada sinyal untuk alat komunikasi apapun, dengan kondisi kapal mogok (bagaimana perasaanmu?)
Kapal sudah kembali menyala, namun kami diburu waktu untuk segera menuju bandara, sementara pulau raja ampat tampak begitu gelap dan entah berapa jam lagi akan sampai sana. Akhirnya kami putuskan untuk kembali saja ke Sorong dan mencari ikannya di pasar. Ya, sebuah perjalanan yang tertunda.
Saya bersyukur, saya mengambil pelajaran dari perjalanan ini. Pertama kalinya pula saya bisa melihat secara langsung lumba-lumba berenang dan melompat-lompat di alam bebasnya, lautan, dengan warna pelangi dan burung-burung menghiasi langitnya. Betapa indahnya negeriku, ciptaanMu...
Komentar
Posting Komentar
Silahkan komentarnya untuk perbaikan kami, terimakasih.