Pasar Terapung Lok Baintan yang berlokasi
di desa Lok Baintan, Kecamatan Sungai Tabuk, Kalimantan Selatan adalah pasar
terapung tradisional beroperasi di atas jukung
yang menjual beragam dagangan, terutama hasil pertanian atau perkebunan.
Aktifitas di pasar terapung Lok Baintan berlangsung tidak terlalu lama, paling
lama sekitar tiga hingga empat jam, mulai pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul
09.00 WITA. Pedagangnya didominasi perempuan dengan memakai tutup kepala
(tanggui), mereka bisa disapa dengan panggilan akrab Acil.
Pasar terapung Lok Baintan sudah ada
sejak zaman Kesultanan Banjar. Perkembangan Islam yang pesat di tanah Banjar
menjadikan munculnya beragam aturan ketatanegraan dan hubungan antar masyarakat
disesuaikan dengan tata aturan Islam, termasuk transaksi jual beli dengan
sistem akad. Adat kebiasaan akad dalam kegiatan transaksi ekonomi masyarakat
yang hidup dari sungai seperti Pasar Terapung Lok Baintan menjadi adat
kebiasaan yang dicetuskan oleh Syekh Muhammad Al-Arsyad Banjari dalam kitab
Sabilal Muhtadin (Pesona Travel, 2019).
Untuk menuju pasar terapung Lok Baintan
dari pusat kota Banjarmasin bisa ditempuh dengan menyusuri sungai Martapura
dengan menggunakan klotok, sejenis sampan bermesin. Sungai Martapura merupakan
anak sungai Barito yang muaranya terletak di Kota Banjarmasin dan di hulunya
terdapat Kabupaten Martapura dengan panjang 80 km, lebar 100 m, dan kedalaman
rata-rata 10 meter. Dengan klotok, perjalanan dari pusat kota menuju pasar
terapung terbilang cepat karena membutuhkan waktu 30 menit. Satu klotok
disewakan seharga 300 ribu, puas menyusuri sungai Barito dan berkeliling pasar
terapung Lok Baintan. Terdapat beberapa titik lokasi penyewaan Klotok, salah
satunya berlokasi di bawah jembatan Banua Anyar tepat di depan Museum Wasaka
Banjarmasin.
Di sepanjang pesisir aliran Sungai
Martapura Lok Baintan terlihat konvoi perahu menuju lokasi pasar terapung.
Perahu ini milik pedagang dan petani yang akan memasarkan hasil kebun mereka.
Mereka berasal dari berbagai anak Sungai Martapura, seperti Sungai Lenge,
Sungai Bakung, Sungai Paku Alam, Sungai Saka Bunut, Sungai Madang, Sungai
Tanifah, dan Sungai Lok Baintan. Begitu banyak sungai di Kota Banjarmasin
membuatnya mendapat julukan sebagai kota seribu sungai. Sungai masih menjadi
jalur transportasi pilihan dan aktifitas perekonomian masyarakat hingga era
modern saat ini, bahkan sepanjang perjalanan menyusuri sungai menggunakan
klotok, kita bisa menemukan rambu-rambu lalu lintas sungai yang tidak pernah
ditemukan di daerah lain di Indonesia, seperti rambu belokan, dilarang
berhenti, persis seperti rambu lalu lintas di jalanan pada umumnya tapi ini di
perairan, unik!
Perjalanan menyusuri sungai di pagi hari
menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Pemandangan kanan kiri tampak pemukiman
terapung warga Banua, semacam rumah panggung khas Suku Banjar yang langsung
terendam di air sungai. Material rumah panggung terbuat dari kayu ulin khas
Kalimantan yang akan semakin kuat jika terendam air, jadi tidak akan rapuh
menopang bangunan. Saya bisa menyaksikan dengan jelas bagaimana Warga di tepi
sungai Martapura bersiap memulai hari, anak-anak berendam mandi di sungai, Ibu-ibu
yang sibuk mencuci pakaian, mencuci piring, hingga memandikan balitanya, semua
dilakukan dengan memanfaatkan secara langsung air dari sungai Martapura yang
mulai berwarna kecoklatan. Pemandangan lain yang bisa dilihat adalah hijau dan
rimbunnya tumbuhan bakau di tepi sungai yang begitu meneduhkan.
Sesampainya di lokasi pasar terapung,
para pedagang dengan jukungnya mulai merapat ke klotok kami dan menjajakan
dagangannya. Cukup variatif dagangan yang dijual, mulai dari jajanan pasar,
sayur-sayuran, buah-buahan, hingga souvenir khas. Banyak buah-buah hutan khas
Kalimantan yang tak bisa kita temukan di daerah lain, seperti buah mentega yang
rasanya sangat manis seperti mentega, buah kalang-kala yang cara makannya harus
direndam air hangat bergaram terlebih dahulu supaya teksturnya melunak dan
nikmat untuk dikonsumsi sebagai lalapan, buah kasturi yang manis menyerupai buah
mangga tapi berukuran lebih imut, buah gitaan yang bergetah dan berukuran
sebesar buah sukun, maupun ramania yang biasa digunakan untuk cacapan atau pengganti acar. Soal harga
masih cukup terjangkau seperti harga pasaran, bahkan bisa ditawar, jadi kita
tak perlu khawatirkan hal ini.
Saya pun mencoba merasakan sensasi
menjadi pedagang pasar terapung. Cukup bayar sukarela untuk sensasi yang tak
ternilai harganya karena kita juga diajak berkeliling pasar menggunakan jukung
pedagang. Saya turun dari klotok dan berpindah ke jukung salah satu pedagang
buah. Sensasi luar biasa berada di jukung yang harus terus dijaga
keseimbangannya, hati-hati jangan sampai
tercebur! Dalem! Kelemahan
perjalanan kali ini memang masalah keamanan karena ada beberapa klotok yang tidak
menyediakan pelampung. Berbeda dengan para pedagang atau penduduk lokal
terutama yang tinggal di tepi sungai Martapura, mereka mahir berenang sedangkan
wisatawan belum tentu semuanya bisa berenang.
Selain sebagai ciri khas Kalimantan
Selatan, sejak awal, Pasar terapung Lok Baintan terangkat namanya berkat
keramahan para warga lokal khususnya para pedagang di pasar terapung. Itulah
kenapa pasar terapung ini tak akan tergerus oleh zaman dan akan terjaga keberadaannya.
Oya, sebelum balik, jangan lupa untuk menikmati sepiring soto Banjar dengan
kuah kentalnya yang sangat gurih dan potongan hintalu itik yang begitu menggoda selera, atau menu sarapan khas
lainnya, nasi kuning yang dibungkus daun pisang dengan pilihan lauk haruan, ayam, atau hintalu masak habang. Puas
menikmati pasar terapung Lok Baintan, kami bergegas kembali ke Museum Wasaka
untuk melanjutkan perjalanan menyusuri Kota Banjarmasin. Maka Nikmat Tuhanmu mana lagi yang kau dustakan.
Gb. Suasana di Pasar
Terapung Lok Baintan
Jukung : Perahu kayu
Acil : Bibi
Hintalu : Telur
Haruan : Ikan Gabus
Habang : Merah
Komentar
Posting Komentar
Silahkan komentarnya untuk perbaikan kami, terimakasih.