|
Gerbang Papua New Guinea |
Selalu buka jendela kaca mobil dan bunyikan klakson, begitulah kondisi saat mobil kami melaju menuju Skouw setiap kali melewati pos penjagaan. Terdapat sepuluh pos penjagaan di sepanjang daerah perbatasan Indonesia dan Papua New Guinea. Sepuluh pos tersebut dijaga oleh para Tentara Nasional Indonesia yang selain bertugas sebagai tentara keamanan RI di garis batas tetapi juga merangkap sebagai tenaga pengajar anak-anak di perbatasan jika tidak ada guru, koki dapur darurat jika ada bencana, hingga tenaga kesehatan yang sedia aneka obat-obatan stok dari Puskesmas setempat. Berada di daerah perbatasan dengan segala keterbatasannya seperti ini sungguh dibutuhkan nyali yang kuat.
|
Pos Pemeriksaan Lintas Batas Skouw |
Alhamdulillah, jalan lintas negara Indonesia dan PNG sudah halus beraspal sehingga perjalanan dapat ditempuh selama kurang lebih 3 jam dari kota Jayapura. Kanan kiri hanya terdapat hutan dan sesekali perkebunan pohon sagu. Terdapat juga pemukiman para transmigran dari seluruh wilayah Indonesia di Kabupaten Keerom ini terutama transmigran asal Jawa dan Bali. Tanah mereka luas sekali, dilihat dari letak rumah satu dengan rumah lainnya yang sangat berjarak dan jarang. Tak sedikitlah yang sudah menjadi transmigran sukses dan kaya di tanah Papua. Papua sudah sangat berwarna, banyak orang berkulit sawo matang, banyak muslim dan saya masih mendengar adzan di propinsi ini meskipun masjid masih jarang ditemukan.
|
Pemukiman Transmigran di Papua |
Dari kejauhan tampak pos tentara yang jauh lebih luas berkali lipat dari pos sebelumnya. Ternyata daerah itu merupakan pos utama perbatasan, tempat pemeriksaan paspor dan kelengkapan lainnya untuk menyeberang ke negara tetangga. Tentu penjagaannya lebih ketat dibandingkan pos-pos penjagaan sebelumnya. Pak Yofu yang mengantar kami segera turun dari mobil dan segera melapor ke petugas. Karena tak ada satupun dari kami yang membawa paspor, sehingga hanya bisa berjalan kaki menuju perbatasan dua negara. Mobil diparkir tak jauh dari pos lapor yang memang disediakan khusus untuk warga yang tidak membawa paspor. Gerbang penyeberangan Indonesia dan PNG dibuka hanya dari jam 8-16 WIT, tidak dibuka 24 jam sehingga harus bertahan di salah satu negara jika melewati jam tersebut.
Terik siang itu tak meyurutkan langkahku untuk segera menginjakkan kaki di negara yang bersebelahan langsung dengan propinsi paling ujung Indonesia. Indah sekali, ilalang menemani perjalananku, mereka terus melambai-lambai dengan ramahnya. Berjalan santai kurang lebih 10 menit telah mengantarkan saya ke garis netral Indonesia-PNG.
|
Ilalang Tumbuh Subur di Perbatasan |
|
Bersama Ibu Patricia dan Bapak Yofu |
Mercusuar dua negara sama-sama berdiri kokoh, tulisan bahasa nasional Papua New Guinea mulai jelas terbaca. Bendera Indonesia yang mulai tampak mungil terus berkibar dengan gagahnya. Penjaga pintu gerbang Papua New Guinea segera memeriksa tas kami masing-masing. Warga PNG di perbatasan mahir berbahasa Indonesia sehingga tak ada masalah soal komunikasi. Tapi tiba-tiba ada warga PNG menyapaku dengan bahasa mereka, ampun...aku cuma bisa senyam-senyum doang, nggak mudeng mereka ngomong apa...\0.0/
|
Garis Netral Indonesia-Papua New Guinea |
Papua New Guinea dan Papua, sama teriknya, sama perawakannya, beda bentuk rumahnya, beda bahasanya tapi masih bisa saling memahami. "Papua lebih maju, sehingga banyak warga PNG yang sering menghabiskan akhir pekan di papua," ujar Ibu Patricia, kawan kami selama di Papua.
Wutung adalah kota di PNG terdekat dengan Indonesia, sehingga jika dilihat dari atas puncak perbatasan tampak berjajar rumah-rumah kampung Wutung yang berbatasan langsung dengan Laut Pasifik, cantik sekali...
|
View Perkampungan Wutung Papua New Guinea |
Sampai di PNG, tidak afhol jika tak membeli kenang-kenangan khas negara persemakmuran tersebut. Saya hanya membawa mata uang rupiah dan tak pernah tahu bagaimana bentuknya mata uang kina mereka, hanya tahu nilai 1 kina sama dengan Rp. 3.000,- di Indonesia. Beruntung, mereka menerima pembayaran dengan rupiah. Sehingga tak perlu repot mencari tempat penukaran uang. Pinang tetap menjadi favorit di Papua dan Papua New Guinea, selalu saja ada yang jual pinang. Satu buah pinang seharga Rp. 1.000,-, tanpa kiloan. Pinang yang masih muda katanya lebih enak. Orang Timur makan pinang sudah seperti makan buah jambu, gigit saja...
|
Accesoris dan Batik Khas Papua New Guinea |
|
Buah Pinang |
Waktu menunjukkan pukul 15.30 WIT, itu tandanya kita harus segera kembali ke wilayah Indonesia sebelum gerbang perbatasan ditutup. Saya berpapasan dengan rombongan petinju yang kembali ke Papua New Guinea, antrian panjang mengular menyaksikan mereka diperiksa satu persatu sebelum memasuki PNG. Gede-gede semua euuy badannya, saya semakin tampak mungil, hadeuh...
|
Pemeriksaan Rombongan Penduduk PNG di Tanah Papua New Guinea |
|
Seorang Bapak Tiba-tiba Mendekat ikut Berpose :D
|
|
Indonesia, Aku Kembali... |
|
Selamat Datang di Indonesia \0.0/ |
Perjalanan di ujung negeri pun usai, tepat jam 16.00 WIT kami sudah berada di wilayah Indonesia. Kembali lagi ke kehangatan tanah air. Welcome Indonesia...\0.0/ Love you Indonesia... \0.0/
Papua, 3-6 Juni 2013
Komentar
Posting Komentar
Silahkan komentarnya untuk perbaikan kami, terimakasih.