Perjalanan
berkelok-kelok menuju salah satu kabupaten terpencil di Gorontalo telah
berhasil membuat asam lambungku naik. Aku terpaksa turun di tengah perjalanan
untuk mengeluarkan semua makanan dalam perut *asli sayang banget, tidak ada
perumahan di sekitar dan hanya ada pohon-pohon besar laksana hutan rimba *mau
gimana lagi coba.Tak ada tenaga yang tersisa, pusing pasti, tapi perjalanan
tetap harus dilanjutkan. Jalan Trans Sulawesi sebenarnya sudah baik, rata, dan
tidak berlubang tapi kelokannya amazing bikin orang pengen muntah.
Beberapa
kilometer selanjutnya, akhirnya kami menemukan sebuah kedai kecil di Kabupaten Boalemo. Otomatis
kami mampir sejenak untuk ngeteh supaya badan kembali fit *secara perjalanan
masih panjang bo'. Pas banget di kedai kecil tersebut menjual camilan khas
Gorontalo, ilabulo, dan jagung rebus yang sangat pulen, jagung pulut.
Lupakan soal rasa mual yang saya alami, saatnya kita bahas dua makanan khas dan nikmat ini. Ilabulo, namanya aneh ya? Ilabulo adalah pepes hati ayam. Karena bahan dasarnya hati, maka otomatis warna yang ditampilkan pun hitam. Hati ayam sudah tidak berbentuk hati lagi, dia sudah ditumbuk halus, hanya teksturnya yang masih terasa. Buat aku yang belum pernah melihat pepes hati ayam, lihat camilan tersebut tahu kan bagaimana reaksiku? hehe, aku sempet ragu buat makan makanan tersebut, takut. Sementara bapak-bapak rombonganku tampak begitu menikmatinya. Soal rasa jangan ditanyakan, buat pecinta hati ayam, camilan ini maknyusss banget.
Next, jagung pulut atau jagung ketan, jagung idola di Sulawesi. Teksturnya kalau sudah direbus pulen banget, legit seperti ketan *that's why doi dinamakan jagung ketan. Warnanya memang sedikit lebih pucat dibandingkan dengan jagung biasa yang berwarna kuning cerah, tapi rasa dan teksturnya jangan dilawan =).
Hari semakin sore dan badan mulai fit kembali, perjalanan lanjut donk! Yeyy, aku menemukan fatamorgana di kala senja! Aku melihat bayangan air di depan sana! Mobil semakin mendekat dan sebuah pantai pun tampak semakin jelas. Siapa coba yang tidak tergoda fatamorgana? Dan ini bukan fatamorgana, dia nyata, apa nggak semakin tergoda? Pantainya begitu tenang, sepi dan nyaman untuk menikmati senja.
Aku rindu sekali menikmati senja. Di Jakarta? Bagaimana menikmati senja kalau setiap sudut kota macet? Aku hanya menikmatinya dari puncak gedung, matahari pun bersembunyi dari balik gedung-gedung pencakar langit. Zaman masih kecil, aku sering menikmati senja bersama keluarga dan teman-teman komplek secara langsung dari depan rumah, yang terbentang sawah luas sehingga tak ada penghalang senja, rindu sekali. Alhamdulillah, di daerah yang 'katanya' terpencil ini, yang 'katanya' belum maju, aku bisa dengan tenang menikmati senja, indah. Siluet-siluet cahaya matahari yang semakin ke Barat, tampak malu-malu mengintip dari bukit-bukit di sekitar pantai. Ahhh, manis banget...
Subhanallah, maka nikmat TuhanMu yang mana yang kamu dustakan?
Numpang ninggalin jejak mba nur
BalasHapusMonggo mas, makasih.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus